RDM FM 99,9. Radio Musik & Informasi Madura

Sumenep, Jawa Timur, Indonesia
RDMFM (Radio Dangdut Madura, FM 99,9 adalah Radio Promosi dan Informasi Madura. "Madura untuk Indonesia".

facebook RDM FM99,9

Rdmfm Madura

Perjalanan Sejarah Dangdut Indonesia-Malaysia

Perjalanan musik dangdut ternyata memiliki sejarah panjang, jauh sebelum penamaan musik ini terjadi. Tarik menarik popularitas musik ini antara biduan Indonesia dan Malaysia juga sempat terjadi, meski akhirnya musisi dangdut Tanah Air tampil mendominasi. Munif Bahasuan yang dianggap pelopor musik dan maestro dangdut tanah air, mengaku tidak tahu darimana istilah itu berasal. Sebab, ungkapnya, pada 1940-an sudah banyak musik yang lahir berbau dangdut, tetapi belum dinamakan musik dangdut., Munif menyebut lagu Kudaku Lari, yang dilantunkan A Harris pada 1953, sebagai satu di antara lagu pelopor irama yang kelak disebut dangdut ini. Alasannya, lagu itu telah memberanikan diri memasukkan suara gendang ala India pada orkes yang semula hanya memakai gitar, harmonium, bas dan mandolin. Pada 1950-an, selain ada A Harris, juga ada nama-nama penyanyi dangdut lain, seperti Emma Gangga, Hasnah Thahar, dan Juhana Satar. Tapi, kemudian datang masa ketika supremasi terhadap lagu-lagu berirama Melayu direbut negeri jiran Malaysia. Popularitas P Ramlee, biduan Malaysia yang mengaku keturunan Aceh, memindahkan kiblat musik Melayu ke negeri itu. Melalui tembang Engkau Laksana Bulan dan Azizah, P Ramlee berjaya tak tersaingi. Apalagi setelah itu ia juga membintangi beberapa film layar lebar. Popularitasnya di Indonesia pun makin subur. Semua yang berbau Ramlee menjadi tren.begadang3.jpg Tapi, pada 1960-an, muncullah Said Effendi, yang berhasil mengembalikan supremasi irama Melayu dari Malaysia ke Indonesia. Lewat lagu Bahtera Laju, Said Effendi menempatkan diri sebagai pelantun irama Melayu nomor wahid negeri ini. Ia menyingkirkan popularitas P Ramlee. Said Effendi memiliki lagu-lagu populer yang diciptakannya sendiri, seperti Bahtera Laju, Timang-timang, dan Fatwa Pujangga, serta lagu karya orang lain, misalnya Semalam di Malaysia (Syaiful Bahri) dan Diambang Sore (Ismail Marzuki). Ketenaran Said Effendi makin tak tertahan, ketika ia muncul dengan lagu Seroja karya Husein Bawafie. Sukses Seroja menarik minat sutradara Nawi Ismail untuk menokohkan Said Effendi ke dalam film dengan judul yang sama. Setelah itu, sutradara Asrul Sani pun menarik Said Effendi untuk membuat film Titian Serambut Dibelah Tujuh.

Jumat, 02 Oktober 2009

Target Kominfo: Akhir 2009 Seluruh Desa Terkoneksi Internet

Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) menargetkan, akhir 2009, seluruh desa di Indonesia bisa terjangkau jaringan telekomunikasi, dan terkoneksi internet Menurut Menkominfo Prof. Dr. M. Nuh, Jumat (12/6), dari total desa yang belum terjangkau jaringan telekomunikasi sebanyak 31 ribu, pada akhir tahun 2009 dan paling lambat awal 2010 semua sudah tuntas jaringannya.

"Paling lambat awal tahun 2010 semua masyarakat pedesaan termasuk desa terpenci sekalipun sudah bisa menikmati jaringan telekomunikasi bahkan internet. Dan mereka juga sudah bisa mengoperasikannya," katanya di sela-sela peresmian akses intranet di Rumah Pintar Universitas Brawijaya (UB) Malang.

Menurut mantan rektor ITS itu, untuk menyediakan jaringan (penyambungan) akses telekomunikasi dan internet tersebut disediakan anggaran sekitar Rp2 triliun pada tahun 2009.

Menkominfo berharap, setelah jaringan telekomunikasi tersambung di seluruh desa, yang menjadi pemikiran adalah keterjangkauan bagi masyarakat desa itu sendiri, sebab dari akses internet tersebut masyarakat bisa melakukan transaksi ekonomi antarmasyarakat.

Selain menyiapkan sambungan atau jaringan telekomunikasi, katanya, yang tidak kalah penting adalah isi (content) dari jaringan internet itu sendiri terutama yang berkaitan dengan "e-education" dan "e-health".

Setelah semua desa tersambung dengan jaringan telekomunikasi dan internet, katanya, seluruh desa di Indonesia yang jumlahnya mencapai 72 ribu lebih itu ditargetkan memiliki rumah pintar lengkap dengan semua fasilitas penunjangnya termasuk jaringan internet.

Ia mengakui, saat ini Depkominfo bersama beberapa perguruan tinggi negeri (PTN), yakni ITB, UI, ITS, Unair dan Unpad serta ITS saat ini juga tengah melakukan kajian dan penelitian mengenai pengaruh internet terhadap sosial, ekonomi dan budaya dilingkungan masyasyarakat.

Penelitian tersebut, katanya, dalam kurun waktu enam bulan diharapkan sudah tuntas. "Mudah-mudahan dalam beberapa bulan ke depan sudah selesai agar hasinya bisa dijadikan acuan bagi kita untuk mengambil langkah selanjutnya," tegas M.Nuh. [TMA, Ant]

Sumber: www.gatra.com (Jumat, 12 Juni 2009)

Media Massa, Massa dan Kritik Budaya massa

10/06/2009
Buku termashur yang ditulis oleh seorang filsuf Spanyol, Jose Ortega y Gasset berjudul The Revolt of the Masses (1930). Mengangkat kebangkitan kuatan dan tindakan massa. Di dalam masyarakat, seraya menelusuri asal usul manusia massa (mass-man) dan menganalisnya . Gagasan Ortega adalah perpaduan dari beberapa elemen dari masyarakat massa yang theoritisi lain, seperti misalnya Karl Mannheim, Erich Frommd an Hannah Arendt.
Kaum intelektual klasik menyongsong suatu era budaya massa, pada awal abad 20. Pendidikan massa dengan budaya massa bangkit, tampak sebagai langkah mereduksi otonomi best people. Sebuah langkah mengoreksi sikap sejarah, yang selama itu hanya terpusat pada orang-orang terpandang sebagai tokoh masyarakat dan bangsanya. Mulailah dicerahkan oleh peran massa, baik itu manusia massa yang dapat tertib, massa yang brutal atau berprasangka, maupun yang tidak mau berpikir. Antara lain melalui media massa, kesadaran akan makna dan kadar demokrasi kemudian lebih dekat dengan hasrat paham itu sendiri. Bahwa massa dapat dimobilisasi, dikerahkan dan diaktivasi, di Indonesia sudah lebih dahulu (1922) sudah diperkenalkan oleh seorang founding father kita, dengan ajarannya yang disebut Massa Actie. Kemudian diadopsi oleh Bung Karno sebagai roh perjuangan Indonesia MenggugatSeperti halnya di negara Amerika, debat terbuka pasca perang melalui pelbagai media massa. Di negara yang etos demokratiknya kuat, yang dibarengi oleh pertumbuhan ekonomi, konsumsi massa dan suburbanisasi besar-besar pada tahun 50-an. Kemudian bila pengaruh para pemikir Eropa, seperti Herbert Marcuse, Jean Paul Sartre, Albert Camus dll. begitu besar pada gerakan massa angkatan muda dan mahasiswa. Demikian juga kita rasakan di Indonesia pada awal-awal orde baru pada akhir 60-an, yang kebetulan membawa keruntuhan Soekarno yang dipandang sebagai pemimpin totaliter.Mass Culture: the popular arts in America, (1957)yang ditulis B. Rosenberg dan David Manning White, mensinyalir betapa buruknya budaya massa menjadi ancaman bukan saja karena dampak pendunguan (cretinize) selera kita, tetapi dapat membrutalisasi (brutalize) pengindraan kita yang mengokohkan jalan menuju ke totalitarianisme juga.Dulu para pengamat menanggapi kehadiran media massa sebagai konsekuensi zaman, yang McLuhan menyebutnya Galaxy Gutenberg. Bertolak dari tradisi sastra, F.R. Leavis, serta-merta menyerang koran dengan geram. Dia menggambarkan bahwa abad ke 20 ditandai oleh kemerosotan budaya dan mencoba untuk bertahan pada kanon (hukum) yang berlaku bagi budaya sastra (terutama Inggris). Carey menyitir dia sebagai referensi bagi bahasan tentang film, suratkabar, publisitas dalam segala bentuknya, fiksi komersial, yang berusaha memuaskan kalangan paling rendah tuntutannya. Malahan juga T.S.Eliot, memberikan catatan dalam Definisi Budaya (1948). Peradaban yang tercermin dalam televisi, seperti yang digambarkan oleh Kenneth Clark dalam serial Civilisation (1969), hadir sebagai sajian elitis dan etnosentrik. Debat yang secara habitus di Amerika termasuk jarang, tetapi bila tentang kritik multikultural, dapat diasumsikan cukup sering terutama masalah mitos Man, White, Anglo-Saxon, Protestant (Harold Bloom) bila menghadapi pencalonan presiden Amerika.Kritisisme: Pendekatan budaya massa /masyarakat massa saat sekarang agak kurang banyak dilakukan, tetapi elemen-elemennya masih saja meningkat, terutama dalam persuratkabaran dan jurnal-jurnal yang menyediakan platform tinjauan dan kajian konservatif. Beberapa pandangan ini berhubungan dengan nasionalisme, anti-globalisasi, wacana post-modernisme dan post-kolonialisme.Budaya Massa dapat kita saksikan melalui lingkungan sekitarnya (certain circumstances) sebagai kondisi kebebasan, serta gumelarnya ekspresi budaya yang dimungkinkan, ketimbang tekanan dan penyempitan ruang geraknya. Perbincangan tentang pendekatan budaya massa, lebih tampak uniformitasnya daripada keragamannya (diversities) di dalam media massa/budaya massa kontemporer.Lembaga-lembaga media massa sedemikian pentingnya bagi politik kontemporer. Media massa di dalam negara demokratis adalah keniscayaan (necessity) pada formasi dalam pembentukan public opinion. Warga Negara menghendaki media massa tampak nyata memberdayakannya dan menjadikan diri mereka sebagai subjek pemerintahan. Warga negara merasa memiliki kewenangan dan sifat partisipatoris. Oleh karena itu, sebaiknya media memang bukan partisan, apa lagi sektarian. Media semestinya tidak saja menjadi pengamat-pengamat yang netral, tetapi malah menjadi aktor politik itu sendiri.Ekspektasi bahwa media massa akan memfasilitasi debat pluralistis dan informasi demi terbentuknya public opinion. Di mana hal demikian oleh Jürgen Habermas dinamainya public spher (ruang publik). Tentang media massa, kita mencatat bahwa:a) media sebagai public watchdog. tradisi pemikiran yang menyangkut independensi media terhadap negara dan idealnya juga pasar bebas. Curran mencuplik Rupert Murdoch yang mengatakan pada tahun 1989, bahwa public service broadcasters (in Britain) have played a price for their state-sponsored privileges. The price has been their freedom. Curran mengkritiknya bahwa maksud pasar bebas itu dalam perannya sebagai watchdog, sesungguhnya merujuk pada konsentrasi pasar dan bahaya kekuatan perorangan (private power).b) Peran representasi pelanggan, dengan pengoperasian media di dalam aktivitas pasar diasumsikan dapat merefleksikan kewigatian (concerning) yang popular. Kembali Curran mengingatkan pandangan yang kontras, bahwa pengaruh yang kuat dari iklan di media, mengatasi kedaulatan audiens. c) Peran informasional. Perdagangan bebas dalam gagasan dan berita didestorsi oleh mekanisme pasar ke dalam hiburan, teropong kisah human interest, macam stereotipe dan sebagainya. Sementara dalam substansi kajian teoretis terakhir, kita saksikan adanya debat tentang media dan efek global, tengah berlangsung. Media baru sebagai ancaman baik terhadap tradisi kelembagaan demokratik seperti halnya kita kenal sebagai anarkhi, kaidah dan kebiasaan mob, atau terhadap nilai-nilai budaya elit yang memiliki gaya dan habitus sendiri. Pada hakikatnya yang konservatif, pandangan pesimistik terhadap pendidikan massa, demokratisasi dan modernisasi, yang mensugestikan keruntuhan perbedaan dan nilai-nilai elit. The Intellectuals and the Masses, bab Pride and Prejudice, buku mengenai karya tulis yang dikategorikan sastraintelligentsia, John Carey (1992), mengutip ucapan Friedrich Nietzsche (1844-1900): The rabble vomit their bile and call it a newspaper (Muntahan kuning dari dalam perut kalangan rendahan dan itu disebut sebagai koran). Dalam merespons hal ini, yang berimplikasi pada bidang pendidikan dan kebangkitan serta kesadaran membaca, datang dari Daily Mail - Lord Northcliffe’s (1896).’ Koran didesain untuk pasar baru, yakni pemenuhan kebutuhan intelektual, mempersiapkan dan menangkal keadaan darurat, kisah human interest dan termasuk apa saja yang juga kaum perempuan membutuhkan dan memperhatikannya. Segera hadirlah tabloid pertama, The Daily Mirror (1903), yang secara explisit mentargetkan kaum perempuan.Perspektif kaum Marxis dan neo-Marxis tentang budaya dan media mass, sedikit banyak masih mengacu pada landasan dan suprastruktur, Politik ekonomi dari media. Hegemoni dan karya-karya lain Antonio Gramsci. Wawasan tentang industri budaya, serta hubungannya dengan generasi pertama para penulis Mashab Frankfurt. Teori Demokratik Liberal dan media sebagai penentu pemikiran pluralisme dan ruang publik (public sphere) di mana opini publik berada dalam format independen. Disisi lain banyak pemikir bahwa kaum Marxis beranggapan bahwa tradisi kritis yang kuat terhadap media massa independen dalam demokrasi liberal kapitalis. (ditulis oleh Drs.Wolly Baktiono, MSi - Dewan Penasehat PRSSNI Jawa Timur)

KDM